Masjid dan Pesarean Syaikhon Mohammad Kholil Bangkalan

DENGAN iringan saronen, orkes gamelan khas Madura, sapi-sapi itu diarak memasuki dan mengelilingi arena pacuan. 

Melemaskan otot-otot sekaligus memamerkan keindahan pakaian (ambhin) dan aksesoris yang beraneka warna. Seusai parade, pakaian dan seluruh aksesoris dilepas. Kecuali hiasan kepala (obet) yang berfungsi memberikan rasa percaya diri dan keperkasaan sapi. Setelah itu perlombaan pun dimulai.

Debu membumbung tinggi. Sepasang sapi yang mengenakan kaleles, sarana pelengkap untuk dinaiki tukang tongkok (joki/sais), melaju kencang. Adu cepat melawan pasangan sapi lainnya. Kaleles beberapa kali melayang ke udara sementara si joki berusaha mengendalikan dan menunjukkan kelihaiannya. Sorak sorai penonton menambah semarak perlombaan.

Itulah karapan sapi atau kadang ditulis kerapan sapi, atraksi budaya dan permainan tradisional masyarakat Madura, Jawa Timur. Kapan persisnya karapan sapi lahir belumlah jelas.

Sapi memiliki arti penting bagi orang Madura. Menurut Sulaiman dalam Karapan Sapi di Madura, masyarakat Madura percaya sapi memiliki raja. Raja sapi betina ada di Desa Gadding, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep. Sedangkan raja sapi jantan ada di Sapudi, sebuah pulau di sebelah timur Madura.

Sejak ratusan tahun lalu, sapi betina di Gadding dipelihara dengan baik dan dikenal berkualitas. Dari daerah inilah asal-mula kontes sapi betina yang dikenal dengan istilah sape pajangan atau sape sono. Sementara Sapudi dikenal menghasilkan sapi jantan unggul yang dijadikan sapi kerap atau sapi untuk kerapan.

Cara-cara pemeliharaan sapi di Sapudi dimulai oleh Penembahan Wlingi (Wirobroto) sekira abad ke-14 dan dilanjutkan anaknya, Adipoday. Pada masanya pertanian mengalami kemajuan. Dengan menaiki pasangan-pasangan sapi yang dipasang salaga (garu), para petani membajak sawah dengan gembira dan berlomba cepat selesai. Dari sinilah muncul istilah garaban, dari kata “garab” yang diartikan “kerja cepat”.

“Demikianlah sebuah dongeng yang menyebutkan asal-usul kerapan sapi dari kata garaban, dari kerja pertanian di persawahan berevolusi menjadi pesta kerapan sapi,” jelas Sulaiman.

Versi lain menyebut peranan Kyai Pratanu, yang menyebarkan Islam dengan sarana karapan sapi pada akhir abad ke-16. Sementara cerita tutur di Sumenep mengaitkannya dengan Syekh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur), mubaligh dari Kudus, pada abad ke-17. Sembari menyebarkan agama Islam, dia mengajarkan cara bercocok tanam sehingga hasil panen melimpah. Sebagai ungkapan rasa syukur, diadakanlah hari-hari persahabatan (berkirabah) dengan melaksanakan pacuan sapi. Dari bahasa Arab kirabah ini kemudian menjadi kerapan.

Terlepas dari berbagai versi itu, pacuan sapi kemudian menjadi atraksi budaya yang digemari masyarakat. Namun, menurut Sumintarsih dalam “Makna Sapi Kerapan Dari Perspektif Orang Madura: Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya”, dimuat buku Kearifan Lokal, karapan sapi mulai berubah pada 1970-an. Fungsinya bergeser dari tujuan awal sebagai hiburan, alat berkomunikasi, dan penanda awal tanam. Pelaksanaan karapan sapi mulai diorganisir. Sapi kerap menjadi penanda status seseorang.

“Dalam hal ini hewan sapi statusnya menjadi hewan aduan, hewan pacuan, ia tidak lagi dipekerjakan untuk pertanian, ia khusus menjadi alat pemuas pemiliknya,” tulis Sumintarsih.


Karapan sapi terdiri dari beberapa macam: kerap keni (kerapan kecil), kerap raja (kerapan besar), kerap onjangan (kerapan undangan), kerap karesidenan (kerapan tingkat karesidenan), dan kerap jar-jaran (kerapan latihan).


Kerap keni diikuti sapi-sapi kecil yang belum terlatih dari satu kecamatan atau kewedanaan. Pemenangnya dapat mengikuti kerap raja atau sering disebut kerap negara yang diadakan dua kali di ibukota kabupaten dan memperebutkan Piala Bupati. Para pemenang kerap raja akan ikut dan memperebutkan Piala Presiden yang amat prestisius.


Kerap onjangan diadakan untuk memperingati hari-hari besar, peringatan syukuran, dan lain-lain. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan yang diikuti juara-juara dari empat kabupaten di Madura sebagai penutup musim kerapan. Sementara kerap jar-jaran dilakukan untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan.


Bagi sebagian besar masyarakat Madura, karapan sapi tidak hanya sebatas pesta rakyat biasa atau semata warisan turun-temurun. Karapan sapi adalah simbol kebanggaan yang mengangkat harkat dan martabat masyarakat Madura. Sebab, sapi yang digunakan untuk pertandingan merupakan sapi-sapi berkualitas sangat baik yang mendapat perlakuan istimewa dari pemiliknya.


“Sapi-sapi karapan adalah sapi dari jenis tertentu yang postur tubuhnya sangat anggun, kulitnya bersih bersinar, berwarna kecoklat-coklatan, dan mempunyai daya kekuatan (lari) yang mengagumkan,” tulis A. Latief Wiyata dalam Mencari Madura.


Pemilihan sapi amat menentukan. Sapi yang cocok untuk karapan biasanya dibedakan sejak berumur 3-4 bulan. Lalu sejak umur 10 bulan sapi mulai dilatih, diberi jamu, dipijat, dan dimandikan. Hal itu terus dilakukan sampai sapi siap turun gelanggang.


Dalam karapan sapi, harga diri para pemilik sapi dipertaruhkan. Kalau menang, mereka mendapat hadiah dan uang taruhan. Harga sapi pemenang juga dapat membumbung tinggi. Kalau kalah, harga diri pemilik jatuh dan kehilangan uang yang tidak sedikit. Sebab, perawatan sapi terbilang mahal. Berbagai cara pun sudah dilakukan demi meraih kemenangan. Termasuk menyewa dukun agar sapinya selamat dari serangan jampi-jampi musuh.


Dalam perkembangannya, muncul kritik atas kekerasan dan penyiksaan terhadap sapi dalam kerapan atau dikenal dengan istilah rekeng. Yakni melecut badan sapi dengan cambuk berpaku agar sapi berlari kencang. Menurut Sumintarsih, hal itu memunculkan dua versi pelaksanaan karapan sapi: pakem lama dan pakem baru.


Pakem lama, dengan rekeng, diklaim para pengerap (pemilik atau peserta kerapan) sebagai warisan nenek-moyang dan karapan sapi Madura sebenarnya. Sebaliknya versi pakem baru diprakarsai oleh para pecinta binatang, ulama, hingga budayawan yang ingin mengembalikan karapan sapi seperti dulu tanpa rekeng.


Pemerintah juga berkali-kali menghimbau agar tak ada kekerasan dalam karapan sapi. Setelah sempat muncul dualisme, kini karapan sapi yang memperebutkan Piala Presiden diadakan tanpa kekerasan.


Karapan sapi merupakan pagelaran unik yang masih terjaga sampai sekarang. Even ini menjadi ikon Madura dan atraksi wisata yang menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara.*